Suara Merdeka.com, 13 Oktober 2011
Sekolah Bisa Ajukan Protes
- Perubahan Penyaluran Dana BOS
JAKARTA-Perubahan mekanisme penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk tahun 2012 akan membawa angin segar bagi sekolah-sekolah yang berhak menerima. Selain karena penyalurannya tidak lagi melalui prosedur yang berlaku di kabupaten/kota, sekolah juga akan berani mengajukan protes kepada provinsi jika dana tersebut terlambat disalurkan.
Selama ini sekolah tidak pernah protes apabila dana BOS terlambat sampai ke sekolah, karena dana itu dipegang oleh kabupaten/kota yang merupakan ”orang tua” dari sekolah-sekolah yang ada di daerah. Sementara provinsi tidak memiliki kewenangan langsung untuk mengurusi anggaran tersebut, karena hanya sebagai penyalur guna mempercepat proses pencairan dari pusat ke sekolah.
”Sekolah itu anaknya kabupaten/kota. Karena tidak bisa memberikan dana langsung, sehingga harus mengikuti mekanisme APBD. Selain itu, kepala sekolah diangkat oleh kepala dinas, jadi jika telat tidak ada protes-protes. Tapi kalau lewat provinsi, bila terlambat sekolah bisa protes. Karena tidak ada hubungan, tidak ada sanksi,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, di Gedung Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), baru-baru ini.
Seperti diketahui, pemerintah sepakat mengubah mekanisme penyaluran dana BOS. Pencairan BOS melalui Kementerian Keuangan tidak lagi melalui kabupaten/kota, tetapi melalui pemerintah provinsi, kemudian disalurkan ke masing-masing sekolah dalam bentuk hibah.
Desentralisasi
Dengan mekanisme tersebut dan ditambah sosialisasi, pemerintah berharap ke depan tidak ada lagi keterlambatan penyaluran. Di samping itu, pengawasan terhadap penyaluran juga lebih sederhana, hanya mengawasi 33 provinsi.
”Kalau melalui provinsi, itu spend control kita 33. Kalau di kabupaten/kota itu 497, sehingga memang spend control-nya jauh berbeda. Kalau nanti kita hanya mengendalikan di 33 provinsi,” ungkapnya.
Mantan Menkominfo itu tidak ingin pemerintah disebut plin plan dalam mengambil kebijakan penyaluran BOS. Pihaknya berusaha mencari jalan terbaik terkait dengan hal tersebut.
”Kami sedang menggabungkan antara pentingnya desentralisasi dan capasity building yang ada di daerah, sehingga harus tahu kapan pasnya. Semangatnya harus desentralisasi, tapi tidak serta merta diserahkan ke kabupaten/kota,” tutur Nuh.
Meskipun kerap bertabrakan dengan aturan otonomi daerah, pihaknya tidak dapat membuat kebijakan atau aturan khusus terkait dengan sistem penyaluran BOS. ”Kami buat undang-undang itu tidak bisa istilahnya lex specialis. Kalau banyak yang khusus, itu bukan khusus lagi namanya. Karena yang paling menonjol yang harus disiapkan ujung-ujungnya capacity building,” ungkapnya. (K32-37)
Selama ini sekolah tidak pernah protes apabila dana BOS terlambat sampai ke sekolah, karena dana itu dipegang oleh kabupaten/kota yang merupakan ”orang tua” dari sekolah-sekolah yang ada di daerah. Sementara provinsi tidak memiliki kewenangan langsung untuk mengurusi anggaran tersebut, karena hanya sebagai penyalur guna mempercepat proses pencairan dari pusat ke sekolah.
”Sekolah itu anaknya kabupaten/kota. Karena tidak bisa memberikan dana langsung, sehingga harus mengikuti mekanisme APBD. Selain itu, kepala sekolah diangkat oleh kepala dinas, jadi jika telat tidak ada protes-protes. Tapi kalau lewat provinsi, bila terlambat sekolah bisa protes. Karena tidak ada hubungan, tidak ada sanksi,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh, di Gedung Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), baru-baru ini.
Seperti diketahui, pemerintah sepakat mengubah mekanisme penyaluran dana BOS. Pencairan BOS melalui Kementerian Keuangan tidak lagi melalui kabupaten/kota, tetapi melalui pemerintah provinsi, kemudian disalurkan ke masing-masing sekolah dalam bentuk hibah.
Desentralisasi
Dengan mekanisme tersebut dan ditambah sosialisasi, pemerintah berharap ke depan tidak ada lagi keterlambatan penyaluran. Di samping itu, pengawasan terhadap penyaluran juga lebih sederhana, hanya mengawasi 33 provinsi.
”Kalau melalui provinsi, itu spend control kita 33. Kalau di kabupaten/kota itu 497, sehingga memang spend control-nya jauh berbeda. Kalau nanti kita hanya mengendalikan di 33 provinsi,” ungkapnya.
Mantan Menkominfo itu tidak ingin pemerintah disebut plin plan dalam mengambil kebijakan penyaluran BOS. Pihaknya berusaha mencari jalan terbaik terkait dengan hal tersebut.
”Kami sedang menggabungkan antara pentingnya desentralisasi dan capasity building yang ada di daerah, sehingga harus tahu kapan pasnya. Semangatnya harus desentralisasi, tapi tidak serta merta diserahkan ke kabupaten/kota,” tutur Nuh.
Meskipun kerap bertabrakan dengan aturan otonomi daerah, pihaknya tidak dapat membuat kebijakan atau aturan khusus terkait dengan sistem penyaluran BOS. ”Kami buat undang-undang itu tidak bisa istilahnya lex specialis. Kalau banyak yang khusus, itu bukan khusus lagi namanya. Karena yang paling menonjol yang harus disiapkan ujung-ujungnya capacity building,” ungkapnya. (K32-37)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar